Friday, April 15, 2011

Buat Para Bujangan


Setiap pasangan muda-mudi yang menjalin 'hubungan' cinta kasih pasti akan dihadapkan pada pertanyaan besar: Mau dibawa ke mana hubungan kita...? Seperti lirik sebuah lagu yang sedang populer. Jawaban yang dinanti-nanti adalah: pernikahan! Namun, kebanyakan tidak sanggup meyakinkan diri menikah di usia muda. Alasannya cukup beragam, belum mapan, belum siap mental, masih ingin berkarir, dan lain sebagainya. Hal-hal ini kerap membebani pikiran kawula muda.
Jadi meskipun seseorang sudah lama menjalin hubungan, bahkan ada yang sudah lama sekali, terkadang masih enggan ketika dihadapkan dengan yang namanya pernikahan. Bagi sebagian pemuda, seolah-olah pernikahan itu menjadi momok yang harus dihindari.
Meskipun tak semuanya, tapi banyak juga para pemuda yang gugup ketika bertemu dengan calon mertua ketika ditanya mengenai kesiapan untuk menikah. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kerjanya di mana?” Bahkan terkadang ada yang lebih tajam lagi seperti, “Gajinya berapa sebulan?” atau “Kapan akan menikah?”
Sebetulnya wajar saja hal ini dipertanyakan oleh orangtua si perempuan yang membutuhkan kepastian dari pihak calon menantu dan berharap anak gadisnya mendapatkan calon yang tepat. Namun tak sedikit juga para pemuda yang mundur, karena belum siap atau kurang pedemenanggapi pertanyaan “sakti” tersebut.
Berbagai pertanyaan kemudian timbul seperti: “Apakah untuk menikah harus sudah punya pekerjaan dulu?”, “Memangnya berapa sih gaji minimal untuk menikah?”, “Butuh dana berapa sih buat resepsi pernikahan?” Mungkin inilah yang kerap muncul di benak para pemuda yang hendak melamar.
Terlepas dari benar atau tidaknya, ternyata kesiapan finansial seringkali dijadikan faktor utama kesiapan seorang pemuda untuk menikah. Padahal di dalam QS. An-Nuur: 32-33 telah dijelaskan, “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Dan orang-orang yang tidak mampu nikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”
Coba kita lihat kembali petikan, “... Jika mereka miskin, Allah akan memberi karunia-Nya.”
Subhanallah, begitu besarnya kasih sayang Allah SWT yang memudahkan langkah hamba-Nya yang ingin menikah. Allah SWT telah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menjalani kehidupan. Apalagi jika menikahnya dengan semangat juang yang tinggi untuk bisa hidup mandiri. Jika sudah ada jaminan (rezeki) dari Allah SWT, mengapa kita masih ragu lagi?
Rasulullah saw bersabda, “Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang telah mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah karena menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi perisai baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam kenyataannya saya terkadang menemukan teman yang beranggapan, jika ingin menikah harus mapan dulu. Sebenarnya menurut saya ukuran kemapanan seseorang itu berbeda-beda, tergantung bagaimana mengambil sudut pandangnya. Ada yang beranggapan kalau mapan itu harus punya rumah dulu atau harus punya mobil dulu, bahkan ada yang beranggapan mapan itu harus punya gaji sebanyak sekian dan sekian.
Saya mencoba mengambil perumpamaan dengan mengajak pembaca mengenang kembali ketika melihat pemandangan yang sangat indah dari dataran tinggi. Contohnya seperti pemandangan yang ada di puncak gunung. Jika kita sangat menikmati ketika melihat pemandangan tersebut, maka apakah sama dengan ketika kita melihat pemandangan tersebut dari selembar foto. Sudah pasti rasanya akan jauh berbeda.
Saya meyakini jika kita menunda menikah demi menunggu kemapanan ekonomi dapat diumpamakan seperti ingin melihat pemandangan indah di puncak gunung, tapi hanya dari selembar foto. Tentunya akan terasa berbeda dengan menikmati pemandangan indah dengan cara mendaki ke puncak gunung dengan bersusah payah untuk melihat pemandangan yang indah.
Keindahan pemandangan alam bukan hanya terletak pada komposisi warna dan lain sebagainya. Keindahannya juga terletak pada proses yang harus dilalui untuk melihat pemandangan tersebut. Bahkan tak jarang seseorang yang sukses berkat dukungan isterinya. Tengok saja kisah Nabi Muhammad saw dengan isterinya Siti Khadijah.
Jika dipikir mungkin terasa aneh sekali. Tapi saya percaya, perasaannya akan sangat berbeda sekali jika suami-istri berjuang bersama dari titik nol menuju titik puncak kesuksesan, daripada harus menunda menikah demi kemapanan yang terkadang belum pasti waktunya.
Meskipun begitu masih ada saja yang berpendapat, tidak ingin mengajak pasangannya susah karena belum mapan. Ketika sudah mapan, barulah yang bersangkutan mengajak pasangannya menikah. Heemmm... Hemat saya, ini hanya buang-buang waktu saja, sementara waktu terus berlari dan tak akan kembali.
Sekali lagi tak ada niat untuk menggurui atau merasa lebih pintar, tapi saya hanya ingin berbagi. Coba kita simak sabda Rasulullah saw, “Bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah, kemudian ia tidak menikah.” (HR Ath-Thabrani).
Rasulullah saw juga bersabda kepada Ali r.a. yang menjelaskan, “Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya.” (HR Ahmad).
Dan yang juga tak kalah pentingnya, yaitu sabda Rasulullah saw agar para pemuda termasuk saya agar tak salah langkah dalam memilih tambatan hati, “Wanita dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaknya pilihlah yang beragama agar berkah kedua tanganmu.” (HR Muslim).
Menikah yuuk...!

No comments:

Post a Comment